(Kerinduanku pada ayah yang telah tenang di sisiNya)
Laki-laki itu,
bukan pagar kertas,
tapi pagar baja,
selalu menjadi perisaiku.
Teguh menjaga,
tuntaskan semua tugas,
walau raga letih menindih,
walau mata buram mencekam.
Laki-laki itu,
bukan tiang bambu,
tapi penyangga gunung,
amat berat beban dipikulnya.
Tatap matanya seteduh awan,
lembut katanya selembut aura,
mengubur salahku ke dasar bumi,
memaafkanku tanpa jeda waktu.
Laki-laki itu,
guru sejatiku,
penuntun langkah kecilku,
pembawa pelita di keremangan.
Jika aku disebut manusia,
itu karena jerih payahnya,
jika aku mampu berdiri,
itu karena lembut belainya.
Laki-laki itu,
walau telah pergi dariku,
tapi aku tak pernah bisa,
melupakannya barang sehari.
Laki-laki itu,
bukan pagar kertas,
tapi pagar baja,
selalu menjadi perisaiku.
Teguh menjaga,
tuntaskan semua tugas,
walau raga letih menindih,
walau mata buram mencekam.
Laki-laki itu,
bukan tiang bambu,
tapi penyangga gunung,
amat berat beban dipikulnya.
Tatap matanya seteduh awan,
lembut katanya selembut aura,
mengubur salahku ke dasar bumi,
memaafkanku tanpa jeda waktu.
Laki-laki itu,
guru sejatiku,
penuntun langkah kecilku,
pembawa pelita di keremangan.
Jika aku disebut manusia,
itu karena jerih payahnya,
jika aku mampu berdiri,
itu karena lembut belainya.
Laki-laki itu,
walau telah pergi dariku,
tapi aku tak pernah bisa,
melupakannya barang sehari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar