Jumat, 17 Juni 2016

Ketika Ada Deretan Kata Pilih, Memilih, Pemilihan, Pilihan, dst….

Sebetulnya sudah lama judul ini akan ditulis. Akan tetapi, apa yang terjadi? Ketika momen yang tepat untuk merealisasikan ide itu dalam sebuah tulisan didapatkan, e…eee malah ide-ide kecilnya ngumpet entah di mana. Alhasil, yang ada hanyalah sebuah konsep yang berbulan-bulan sudah mengendap di dasbor blog ini. Nah, rupanya ide yang sudah lama mengendap ini dapat momen lagi. Cliingg!!! (
bayangkan ada bola lampu yang sedang menyala kedip-kedip; penanda ada ide bagus muncul). Senang rasanya ada perdebatan soal mekanisme pilkada akhir-akhir ini. Dengan begitu, tulisan dengan judul di atas, menurut saya, dapat momentum lagi. Ahaaa…!!! Asyiiiik… Silakan debat teruuuus… supaya saya bisa mendapatkan ide-ide untuk menyambung paragraf ini.
Pemilihan presiden-wakil presiden baru saja berlalu meski sempat menimbulkan sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK). Demikian pula halnya dengan pemilihan calon-calon legislatif (caleg) yang sudah berlalu lama dan mungkin banyak orang sudah melupakannya atau bahkan sudah lupa dulu pilihan untuk caleg jatuh kepada siapa. Seiring dengan waktu perhelatan akbar yang sering dilabeli “pesta demokrasi” itu berlalu dari kehidupan masyarakat Indonesia, orang-orang pun sudah melupakan deretan kata pilihmemilihpemilihan,pilihan, dan seterusnya. Barangkali yang masih sedikit tersisa sebagai topik perbincangan adalah tentang itu pilihanmuterpaksa memilihsalah pilih, dan sebagainya. Nah, ketika semua orang sudah mulai menjalani hidup mereka dengan normal tanpa “dihantui” oleh kata pilih dan semua kata turunannya, publik dihentakkan lagi energi mereka untuk memikirkan lagi kata pilih dan turunannya itu. Masyarakat pun terpaksa memanggil lagi kata itu dari leksikon mental mereka. Leksikon mental itu semacam kamus yang ada dalam memori manusia. Hasilnya, timbul lagi pro-kontra soal pilih-memilih itu yang kali ini adalah pilkada.
“Ah, itu kan hanya sederetan kata”, barangkali ada yang berpikir seperti itu. Iya betul sekali alias tidak salah kalau ada yang berpikir seperti itu. Kata pilih dan turunannya memang sudah biasa kita tuturkan dan mungkin kita anggap biasa-biasa saja. Akan tetapi, jangan salah, ya, gara-gara kata dasar itulah terkadang hidup kita jadi tidak nyaman, tujuan kita bisa jauh dari harapan, atau kita menyesali keputusan yang sudah dibuat dan bahkan sebuah negara bisa kacau akibat kata dasar itu. Ah, masak sih? Coba perhatikan ilustrasi berikut ini.
Bhuuueh… Seru Anda sambil membuang dari mulut Anda sebulir jeruk yang sudah dihirup airnya. Biasanya diiringi juga dengan umpatan-umpatan kecil, seperti ja.c.k (fill in the blank ya), kurang ajar, dan lain-lain. Kenapa? Kecut banget ternyata rasanya, padahal dari segi penampilan jeruk itu sangat menggiurkan selera. Berwarna kuning cerah, kulitnya bersih dan mengkilat, serta aromanya, yang hmmm…, jeruk banget, deh. Anda telah tertipu dengan penampilan dan aroma. Itu artinya pula Anda telah salah pilih. Perasaan apa yang ada saat itu? Tentu dongkol, kecewa, marah kepada penjualnya yang pastinya sudah tidak bersama Anda lagi, dan yang jelas pasti membuat ndak nyaman.
Itu baru salah memilih buah. Bagaimana jika yang salah itu ketika masyarakat memilih kepala desa, bupati/walikota, gubernur, atau presiden? Bisa kacau tatanan masyarakat dibuatnya kalau sampai itu terjadi. Ini merupakan bukti bahwa deretan kata pilihmemilih,pemilihanpilihan, dan seterusnya bukan sembarangan kelompok kata yang tergabung dalam satu leksem. Karena memiliki nilai yang sangat mendalam, dalam ajaran Islam ada sholat khusus yang bernama sholat istiharah yang bertujuan memohon petnjuk Alloh SWT ketika akan menentukan pilihan yang penting atau pilihan yang sulit diputuskan. Percaya?
Pilihmemilih, pemilihan, dan pilihan  merupakan deretan kata  yang –bisa jadi– sempat membuat kita semua bingung, terpaksa, atau dengan mantab dapat membuat sebuah keputusan penting. Singkat kata, deretan kata ini bisa membuat kita semua galau. Tidak hanya itu, bila satu di antara kata-kata tersebut mengikuti sebuah kata sifat, bisa membuat kacau keadaan. Siap bermain dengan kata-kata?Monggo dilanjut membaca…:-) Maksa ya… OK-lah kalau begitu.
Sebelum dilanjutkan, mari kita menambah pengetahuan tentang seluk-beluk bahasa yang ilmu tentang itu dinamakan Linguistik. Deretan kata seperti mengawali tulisan ini disebut dengan leksem, yang berarti sekumpulan kata yang dibentuk dari satu kata dasar. Sekumpulan kata yang dibentuk dari kata pilih dinamakan leksem pilih. Tentu saja anggota leksem pilih tidak hanya ketiga kata itu. Masih ada memilihkandipilih, terpilihmemilih-milih dan pilih-pilih. Daaaan… Jangan lupa! Ada pula gabungan kata yang memuat unsur pilihdi dalamnya, seperti tidak ada pilihanterpaksa memilih, dan mungkin Anda bisa menambahkan bagian deretan yang sempat terlupakan disebutkan di sini. Aha… Ada dua yang teringat, pilih kasih dan tebang pilih. Yang jelas, ssssst…, jangan sampai saya, Anda, dan kita semua salah pilih karena (
ini kata nenek saya lho ya) bisa berbahaya. Salah pilih bisa menimbulkan penyesalan, dilema, dan bahkan kekacauan. Seperti disinggung di awal, bisa mengakibatkan GATAL alias GAlau toTAL. Maksudnya?
Semua kata berasal dari bentuk dasar pilih itu memang sering diproduksi dalam praktik berbahasa sehari-hari oleh penutur bahasa Indonesia. Namun begitu, beberapa di antaranya terkesan atau mengesankan begitu “istimewa”. “Teristimewakan” karena membawa begitu banyak efek, baik positif maupun negatif. Salah satu bentukan kata yang boleh dikatakan memiliki kedahsyatan itu adalah katapemilihan. Kata pemilihan bersama dengan beberapa kata yang mewakili jabatan akan menjadi super heboh ketika membentuk gabungan kata pemilihan presidenpemilihan gubernurpemilihan bupatipemilihan rektor, pemilihan dekan, sampai pemilihan kepala desa.
Kehebohan itu tidak tidak hanya ketika pemilihan berlangsung, tetapi prapemilihan dan pascapemilihan pun tidak kalah hebohnya atau bahkan lebih heboh. Karena pemilihan-pemilihan tersebut sangat rentan dengan kemunculan kubu-kubu dalam masyarakat. kubu-kubu itu pun bisa menimbulkan berbagai konflik antarkelompok dalam masyarakat. Ujung-ujungnya yang menderita itu tidak lain adalah masyarakat yang dengan berbagai motivasi masuk dalam kubu-kubu tersebut. Situasi sosial pun pada akhirnya menjadi sangat tidak nyaman.
Itu baru pada tahap pemilihan atau menentukan seseorang atau sekelompok orang yang akan dipilih sehingga menjadi orang pilihan. Tahap ini biasanya terlaksana dengan sangat heboh apalaagi pada saat sekarang, era teknologi informasi. Perang antarkubu melalui dunia maya pun terjadi dan bisa pula bersambung menjadi perang dunia nyata. Sebuah tahap yang begitu melelahkan bagi banyak pihak untuk sebuah kata bentukan baru dari kata pilih, yakni terpilih. Kata terpilih pun ramai-ramai diproduksi oleh berbagai pihak dalam kelompok kata presiden terpilihgubernur terpilih, dan seterusnya sampai kepala desa terpilih. Kehebohan pun muncul lagi dalam ekspresi suka cita dan pesta pora bagi orang-orang yang kandidatnya terpilih. Pokoknya heeeeeboh… seperti kata iklan salah satu produk itu. Apakah dampak berupa kehebohan akibat turunan kata pilih itu berhenti cukup di situ? TENTU TIDAK! Kali ini meminjam tuturan dalam iklan salah satu obat cacing ternama.
Setelah mendapatkan pilihan yang ditentukan secara masal itu, biasanya kehebohan hanya berupa pesta pora menyambut kemenangan. Akan tetapi, tidak jarang berujung dengan kehebohan di pengadilan atas tuntutan ketidakadilan, kecurangan, atau hal-hal lain yang membuat kubu lain yang terkalahkan tidak puas. Kehebohan ini berakhir dengan keputusan memenangkan pihak terpilih atau keputusan untuk diadakan pemilihan ulang. Kehebohan akan berlanjut ketika putusan kedua “diketokkan” oleh majelis hakim. Dampaknya tentu akan hanya kehebohan kecil belaka kalau itu pemilihan ketua kelas. Apa yang terjadi ketika itu terjadi pada hasil pilkada atau pilpres? Sudah jelas akan heboh sedaerah tingkat satu atau tingkat dua sampai kepada heboh satu negara. Itu belum lagi biaya pinyelenggaraan pemilihan ulang; sangat merugikan negara; dan sangat merugikan masyarakat.
OK-lah masalah di atas dapat diselesaikan dengan baik dan terpilihlah kandidat sesuai keinginan banyak pihak. Masyarakat menjadi tenang. Eit… tunggu dulu. Masyarakat boleh dikatakan akan tenang, tetapi biasanya akan ada sekelompok masyarakat yang tidak bisa tenang. Apalagi sih? Kehebohan itu sepertinya berlapis-lapis sehingga kalau ditanyakan, “Berapa lapis?”, jawabannya pasti serempak, “Ratuuusan”. Mohon maaf kalau minjam istilah salah satu iklan lagi dan kali ini adalah iklan wafer. Ya, biasanya setelah kandidat terpilih sudah dilantik dan baru beberapa minggu resmi menjabat, ada pihak-pihak atau sekelompok masyarakat yang bikin heboh dengan mengungkap kinerja pemimpin pilihannya dalam seratus hari kerja. Aneh bukan? Baru saja melakukan konsolidasi dengan jajarannya sudah ditagih kenerja dalam seratus hari. Barangkali yang menuntut itu sudah berada di alam akherat sehingga ukuran seratus hari itu sama dengan seratus hari di alam lain. Heboh lagi kan jadinya.
Begitulah yang terjadi sebagai dampak deretan kata pilihmemilihpemilihanpilihan, dan seterusnya dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia yang masih “balita” dalam konteks kedemokrasian ini. Karena salah satu turunan kata dasar pilih itu pula sekarang semua orang ingin berbicara atau menyoal lagi perihal demokrasi di Indonesia. Itu semua gara-gara pemilukada. Ada pendapat demokrasi mengalami kemunduran karena keputusan pemilukada tidak lagi langsung, tetapi oleh DPRD setempat.Apa pula sekelompok masyarakat yang mendukung pemilihan kepala daerah seperti dulu kala, dipilih DPRD setempat. Apakah pemilu langsung, baik untuk penentuan presiden-wakilnya maupun kepala-kepala daerah dan wakil mereka, sudah mencerminkan demokrasi sesungguhnya? Mengingat kembali tayangan kecurangan-kecurangan pemilu legislatif dilanjutkan pemilu presiden-wakil presiden tempo hari, rasanyakok di Indonesia belum ada demokrasi.
Indonesia masih harus banyak berbenah untuk urusan yang berkaitan dengan deretan kata pilihmemilih, pemilihan, pilihan, dan seterusnya itu. Betapa tidak? Salah pilih jeruk seperti ilustrasi di atas saja orang bisa ngumpat-ngumpat. Bagaimana pula kalau kita salah pilih preseiden, salah pilih gubernur atau bupati, salah pilih rektor atau dekan, dan salah pilih kepala desa? Bisa terjadi kehebohan berlapis-lapis karena akibatnya bisa hancur tatanan sosial yang ada. Maka dari itu, deretan kata pilih, memilih, pemilihan, pilihan, dan seterusnya itu harus disandingkan dengan kata-kata teliti, jeli, dan cermat untuk memilih jeruk seperti tadi atau dengan kata-kata tambahan, semacam adil, jujur, dan bijaksana untuk memilih presiden, gubernur, bupati, kepala desa, dan rektor atau dekan. Bila perlu didahului dengan sholat istiharah supaya mendapat pilihan yang diridhoi.
Singkat kata, jangan bermain-main dengan kata kalau tidak ingin tersayat tajamnya! Itu pesannya. Sebab, lidah itu, kata orang, lebih tajam daripada pedang. Hahahahaha ndak nyambung ya? Jika dipaksakan, tentu nyambung juga. Itu semua tergantung kecerdasan berbahasa Anda